Pengertian Teori Belajar dan Aliran Teori Belajar
Teori
Belajar dan Alirannya
Teori-teori belajar dan mengajar yang muara akhirnya
adalah perkembangan intelektual, pada dasarnya dapat dilihat dari berbagai
teori yang terdapat dalam tiga aliran pendidikan, yakni aliran nativisme,
aliran empirisme, dan aliran konvergensi.
1. Aliran Nativisme
Aliran nativisme berasal dari kata natus (lahir);
nativis (pembawaan) yang ajarannya memandang manusia (anak manusia) sejak lahir
telah membawa sesuatu kekuatan yang disebut potensi (dasar). Aliran nativisme
ini, bertolak dari leibnitzian tradition yang menekankan kemampuan dalam diri
anak, sehingga faktor lingkungan, termasuk faktor pendidikan, kurang
berpengaruh terhadap perkembangan anak dalam proses pembelajaran. Dengan kata
lain bahwa aliran nativisme berpandangan segala sesuatunya ditentukan oleh
faktor-faktor yang dibawa sejak lahir, jadi perkembangan individu itu
semata-mata dimungkinkan dan ditentukan oleh dasar turunan, misalnya ; kalau
ayahnya pintar, maka kemungkinan besar anaknya juga pintar.
Para penganut aliran nativisme berpandangan bahwa bayi
itu lahir sudah dengan pembawaan baik dan pembawaan buruk. Oleh karena itu,
hasil akhir pendidikan ditentukan oleh pembawaan yang sudah dibawa sejak lahir.
Berdasarkan pandangan ini, maka keberhasilan pendidikan ditentukan oleh anak
didik itu sendiri. Ditekankan bahwa “yang jahat akan menjadi jahat, dan yang
baik menjadi baik”. Pendidikan yang tidak sesuai dengan bakat dan pembawaan
anak didik tidak akan berguna untuk
perkembangan anak sendiri dalam proses belajarnya.
Bagi nativisme, lingkungan sekitar tidak ada artinya
sebab lingkungan tidak akan berdaya dalam mempengaruhi perkembangan anak.
Penganut pandangan ini menyatakan bahwa jika anak memiliki pembawaan jahat maka
dia akan menjadi jahat, sebaliknya apabila mempunyai pembawaan baik, maka dia
menjadi orang yang baik. Pembawaan buruk dan pembawaan baik ini tidak dapat
dirubah dari kekuatan luar.
Tokoh utama (pelopor) aliran nativisme adalah Arthur
Schopenhaur (Jerman 1788-1860). Tokoh lain seperti J.J. Rousseau seorang ahli
filsafat dan pendidikan dari Perancis. Kedua tokoh ini berpendapat betapa
pentingnya inti privasi atau jati diri manusia. Meskipun dalam keadaan
sehari-hari, sering ditemukan anak mirip orang tuanya (secara fisik) dan anak
juga mewarisi bakat-bakat yang ada pada orang tuanya. Tetapi pembawaan itu
bukanlah merupakan satu-satunya faktor yang menentukan perkembangan. Masih
banyak faktor yang dapat memengaruhi pembentukan dan perkembangan anak dalam
menuju kedewasaan.
2. Aliran Empirisme
Aliran empirisme, bertentangan dengan paham aliran
nativisme. Empirisme (empiri = pengalaman), tidak mengakui adanya pembawaan
atau potensi yang dibawa lahir manusia. Dengan kata lain bahwa manusia itu
lahir dalam keadaan suci, tidak membawa apa-apa. Karena itu, aliran ini
berpandangan bahwa hasil belajar peserta didik besar pengaruhnya pada faktor
lingkungan.
Dalam teori belajar mengajar, maka aliran empirisme
bertolak dari Lockean Tradition yang mementingkan stimulasi eksternal dalam
perkembangan peserta didik. Pengalaman belajar yang diperoleh anak dalam
kehidupan sehari-hari didapat dari dunia sekitarnya berupa stimulan-stimulan.
Stimulasi ini berasal dari alam bebas ataupun diciptakan oleh orang dewasa
dalam bentuk program pendidikan.
Tokoh perintis aliran empirisme adalah seorang filosof
Inggris bernama John Locke (1704-1932) yang mengembangkan teori “Tabula Rasa”,
yakni anak lahir di dunia bagaikan kertas putih yang bersih. Pengalaman empirik
yang diperoleh dari lingkungan akan berpengaruh besar dalam menentukan
perkembangan anak. Dengan demikian, dipahami bahwa aliran empirisme ini,
seorang pendidik memegang peranan penting terhadap keberhasilan peserta
didiknya.
Menurut Redja Mudyahardjo bahwa aliran nativisme ini
berpandangan behavioral, karena menjadikan perilaku manusia yang tampak keluar
sebagai sasaran kajiannya, dengan tetap menekankan bahwa perilaku itu terutama
sebagai hasil belajar semata-mata. Dengan demikian dapat dipahami bahwa
keberhasilan belajar peserta didik menurut aliran empirisme ini, adalah
lingkungan sekitarnya. Keberhasilan ini disebabkan oleh adanya kemampuan dari
pihak pendidik dalam mengajar mereka.
3. Aliran Konvergensi
Aliran konvergensi berasal dari kata konvergen,
artinya bersifat menuju satu titik pertemuan. Aliran ini berpandangan bahwa
perkembangan individu itu baik dasar (bakat, keturunan) maupun lingkungan,
kedua-duanya memainkan peranan penting. Bakat sebagai kemungkinan atau disposisi
telah ada pada masing-masing individu, yang kemudian karena pengaruh lingkungan
yang sesuai dengan kebutuhan untuk perkembangannya, maka kemungkinan itu lalu
menjadi kenyataan. Akan tetapi bakat saka tanpa pengaruh lingkungan yang sesuai
dengan kebutuhan perkembangan tersebut, tidak cukup, misalnya tiap anak manusia
yang normal mempunyai bakal untuk berdiri di atas kedua kakinya, akan tetapi
bakat sebagai kemungkinan ini tidak akan menjadi menjadi kenyataan, jika anak
tersebut tidak hidup dalam lingkungan masyarakat manusia.
Perintis aliran konvergensi adalah William Stern
(1871-1939), seorang ahli pendidikan bangsa Jerman yang berpendapat bahwa
seorang anak dilahirkan di dunia
disertai pembawaan baik maupun pembawaan buruk. Bakat yang dibawa anak sejak
kelahirannya tidak berkembang dengan baik tanpa adanya dukungan lingkungan yang
sesuai untuk perkembangan bakat itu. Jadi seorang anak yang memiliki otak yang
cerdas, namun tidak didukung oleh pendidik yang mengarahkannya, maka
kecerdasakan anak tersebut tidak berkembang. Ini berarti bahwa dalam proses
belajar peserta didik tetap memerlukan bantuan seorang pendidik untuk
mendapatkan keberhasilan dalam pembelajaran.
v
Teori Belajar Behavioristik
Menurut teori behavioristik belajar adalah perubahan
tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman (Gage, Berliner, 1984) Belajar
merupakan akibat adanya interaksi antara stimulus dan respon (Slavin, 2000).
Seseorang dianggap telah belajar sesuatu jika dia dapat menunjukkan perubahan
perilakunya. Menurut teori ini dalam belajar yang penting adalah input yang
berupa stimulus dan output yang berupa respon. Stimulus adalah apa saja yang
diberikan guru kepada siswa, sedangkan respon berupa reaksi atau tanggapan
siswa terhadap stimulus yang diberikan oleh guru tersebut. Proses yang terjadi
antara stimulus dan respon tidak penting untuk diperhatikan karena tidak dapat
diamati dan tidak dapat diukur. Yang dapat diamati adalah stimulus dan respon,
oleh karena itu apa yang diberikan oleh guru (stimulus) dan apa yang diterima oleh
siswa (respon) harus dapat diamati dan diukur. Teori ini mengutamakan
pengukuran, sebab pengukuran merupakan suatu hal penting untuk melihat terjadi
atau tidaknya perubahan tingkah laku tersebut.
Faktor lain yang dianggap penting oleh aliran behavioristik adalah faktor penguatan (reinforcement). Bila penguatan ditambahkan (positive reinforcement) maka respon akan semakin kuat. Begitu pula bila respon dikurangi/dihilangkan (negative reinforcement) maka responpun akan semakin kuat.
Faktor lain yang dianggap penting oleh aliran behavioristik adalah faktor penguatan (reinforcement). Bila penguatan ditambahkan (positive reinforcement) maka respon akan semakin kuat. Begitu pula bila respon dikurangi/dihilangkan (negative reinforcement) maka responpun akan semakin kuat.
v Teori
Belajar Kognitif
Dalam bab sebelumnya telah dikemukan tentang aspek
aspek perkembangan kognitif menurut Piaget yaitu tahap (1) sensory motor; (2)
pre operational; (3) concrete operational dan (4) formal operational. Menurut
Piaget, bahwa belajar akan lebih berhasil apabila disesuaikan dengan tahap
perkembangan kognitif peserta didik. Peserta didik hendaknya diberi kesempatan
untuk melakukan eksperimen dengan obyek fisik, yang ditunjang oleh interaksi
dengan teman sebaya dan dibantu oleh pertanyaan tilikan dari guru. Guru hendaknya
banyak memberikan rangsangan kepada peserta didik agar mau berinteraksi dengan
lingkungan secara aktif, mencari dan menemukan berbagai hal dari lingkungan.
· Implikasi teori perkembangan
kognitif Piaget dalam pembelajaran adalah :
· Bahasa dan cara berfikir anak berbeda dengan orang dewasa. Oleh karena itu guru mengajar dengan menggunakan bahasa yang sesuai dengan cara berfikir anak.
· Anak-anak akan belajar lebih baik apabila dapat menghadapi lingkungan dengan baik. Guru harus membantu anak agar dapat berinteraksi dengan lingkungan sebaik-baiknya.
· Bahan yang harus dipelajari anak hendaknya dirasakan baru tetapi tidak asing.
· Berikan peluang agar anak belajar sesuai tahap perkembangannya.
· Di dalam kelas, anak-anak hendaknya diberi peluang untuk saling berbicara dan diskusi dengan teman-temanya.
· Bahasa dan cara berfikir anak berbeda dengan orang dewasa. Oleh karena itu guru mengajar dengan menggunakan bahasa yang sesuai dengan cara berfikir anak.
· Anak-anak akan belajar lebih baik apabila dapat menghadapi lingkungan dengan baik. Guru harus membantu anak agar dapat berinteraksi dengan lingkungan sebaik-baiknya.
· Bahan yang harus dipelajari anak hendaknya dirasakan baru tetapi tidak asing.
· Berikan peluang agar anak belajar sesuai tahap perkembangannya.
· Di dalam kelas, anak-anak hendaknya diberi peluang untuk saling berbicara dan diskusi dengan teman-temanya.
v Teori
Belajar Konstruktivisme\
Teori-teori baru dalam psikologi pendidikan dikelompok
dalam teori pembelajaran konstruktivis (constructivist theories of learning).
Teori konstruktivis ini menyatakan bahwa siswa harus menemukan sendiri dan
mentransformasikan informasi kompleks, mengecek informasi baru dengan
aturan-aturan lama dan merevisinya apabila aturan-aturan itu tidak lagi sesuai.
Bagi siswa agar benar-benar memahami dan dapat menerapkan pengetahuan, mereka harus
bekerja memecahkan masalah, menemukan segala sesuatu untuk dirinya, berusaha
dengan susah payah dengan ide-ide. Teori ini berkembang dari kerja Piaget,
Vygotsky, teori-teori pemrosesan informasi, dan teori psikologi kognitif yang
lain, seperti teori Bruner (Slavin dalam Nur, 2002: 8).
Menurut teori konstruktivis ini, satu prinsip yang
paling penting dalam psikologi pendidikan adalah bahwa guru tidak hanya sekedar
memberikan pengetahuan kepada siswa. Siswa harus membangun sendiri pengetahuan
di dalam benaknya. Guru dapat memberikan kemudahan untuk proses ini, dengan
memberi kesempatan siswa untuk menemukan atau menerapkan ide-ide mereka
sendiri, dan mengajar siswa menjadi sadar dan secara sadar menggunakan strategi
mereka sendiri untuk belajar. Guru dapat memberi siswa anak tangga yang membawa
siswa ke pemahaman yang lebih tinggi, dengan catatan siswa sendiri yang harus
memanjat anak tangga tersebut ( Nur, 2002 :8).
v Teori
Belajar Humanistik
Menurut Teori humanistik, tujuan belajar adalah untuk
memanusiakan manusia. proses belajar dianggap berhasil jika si pelajar memahami
lingkungannya dan dirinya sendiri. Siswa dalam proses belajarnya harus berusaha
agar lambatlaun ia mampu mencapai aktualisasi diri dengan sebaik-baiknya. Teori
belajar ini berusaha memahami perilaku belajar dari sudut pandang pelakunya,
bukan dari sudut pandang pengamatnya.
Tujuan utama para pendidik adalah membantu si siswa
untuk mengembangkan dirinya, yaitu membantu masing-masing individu untuk
mengenal diri mereka sendiri sebagai manusia yang unik dan membantu dalam
mewujudkan potensi-potensi yang ada dalam diri mereka. Para ahli humanistik
melihat adanya dua bagian pada proses belajar, ialah :
1.
Proses pemerolehan informasi baru,
2.
Personalia informasi ini pada
individu.
Tokoh penting dalam teori belajar humanistik secara
teoritik antara lain adalah: Arthur W. Combs, Abraham Maslow dan Carl RogersSumber IPI/ Kependidikan. Materi Ujian Kompre
Comments
Post a Comment