Ritual Diam #6
Meskipun, demi menegakan keindahannya itu, akhir-akhir ini aku lebih memilih ritual diam, biar saja kecamuk batin yang berdendang
Minggu ini masih musim hujan, saat
senja dan hujan, membuatku; lelaki biasa
ini hanya mampu megurung diri dikamar, mendengarkan lagu-lagu payung teduh,
teman sepi hanya secangkir kopi. Rintik hujan yang menetes pada kaca jendela
seakan senja itu terasa semakin lama.
Gerimis berubah menjadi hujan deras, tak
terdengar suara lagu, hanya gemuruh hujan dan angin yang menjadi lagu terindah
saat itu.
Aku merasa tak ada lagi rasa. Bukan, bukan karena tak ingin lagi, tapi
apalah daya bibirku kini tak sanggup menguntai sambutan. Aku memilih ritual diam, biar saja
kecambuk batin yang berdendang. Sambutanku hanya kau dengar saja, lalu
bagaimana dengan kisahnya? Apa kamu kira sambutanku hanya sekedar teks pidato
yang kubawa? Apa kamu hanya menganggap sambutanku celoteh senja? Tidak. Tidak
sesedarhana itu kasih, kujelaskan semuanya kamu hanya diam, aku suruh kau
tanggapi kau pura-pura tak mengerti. Aku tau kamu mengerti apa yang kujelaskan, namun kamu
seakan akan bingung, kamu selalu menangis saat menjelaskan, aku menangis setiap
hari, setiap menit, bahkan setiap detik saat kamu tak memutuskan, Apa yang
harus kulakukan? Apakah aku harus terus sambutan? Percuma, kamu akan diam, aku
bertanya bagaimana dengan kisahnya.
Jalan yang pernah kita lalui saat
gerimis hujan. senja yang membawa luka. hujan yang datang menyisakan kenangan.
Loading…..
bagus-bagus postingannya
ReplyDelete